Westerling: Si Bajingan "Turki" yang Buat Huruhara di Pasundan

 


Raymond Pierre Paul Westerling lahir pada 31 Agustus 1919 di Istanbul, Turki, dari keluarga berdarah Belgia-Prancis. Sebagai anak dari seorang pedagang, ia dibesarkan di lingkungan internasional yang penuh dinamika, sehingga mahir berbicara dalam berbagai bahasa. Pada tahun 1939, Westerling pindah ke Belanda dan mendaftar ke Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Pelatihan militernya dimulai pada masa Perang Dunia II, di mana ia mendapatkan pengalaman sebagai prajurit di Eropa dan wilayah-wilayah jajahan. Westerling dikenal karena keberaniannya yang brutal, namun seringkali juga melakukan tindakan di luar prosedur militer.

Westerling pertama kali mendapat tugas di Hindia Belanda (Indonesia) setelah Perang Dunia II usai. Pada 1946, ia ditugaskan di Medan sebagai bagian dari upaya Belanda untuk mengembalikan kontrol kolonial pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di Medan, ia menunjukkan taktik brutal dalam menghadapi pejuang kemerdekaan, namun aksinya yang paling kejam terjadi di Sulawesi Selatan pada 1946-1947.

Sebagai pemimpin pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST), Westerling melancarkan "Operasi Pembasmian" yang terkenal dengan nama Westerling Method. Operasi ini melibatkan eksekusi massal terhadap warga sipil yang dituduh mendukung gerakan kemerdekaan. Diperkirakan lebih dari 40.000 orang tewas selama operasi tersebut. Westerling menggunakan teror sebagai alat untuk menundukkan rakyat, membuat Sulawesi Selatan dihantui trauma hingga bertahun-tahun.

Pada periode akhir Revolusi Kemerdekaan, Westerling menjalin hubungan dengan Sultan Abdul Hamid II dari Kesultanan Cianjur, Pasundan. Sultan Abdul Hamid merupakan tokoh yang mendukung Negara Pasundan, negara boneka yang dibentuk Belanda di Jawa Barat. Westerling memanfaatkan hubungan ini untuk memperkuat posisinya di Pasundan, dengan mengklaim dirinya sebagai pelindung Pasundan dari ancaman Republik Indonesia.

Selain itu, Westerling memiliki hubungan dekat dengan Pangeran Bernhard, ayah dari Ratu Beatrix Belanda. Pangeran Bernhard, yang juga seorang militer, memberikan dukungan dalam pelatihan Westerling, khususnya dalam teknik perang gerilya dan kontra-pemberontakan. Hubungan ini memperkuat kedudukan Westerling sebagai figur kontroversial dalam strategi militer Belanda di Indonesia.

Pada tahun 1950, Westerling membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah milisi yang mengaku sebagai tentara resmi Negara Pasundan. APRA menjadi alat Westerling untuk melancarkan teror di Jawa Barat, khususnya terhadap rakyat dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada 23 Januari 1950, Westerling memimpin serangan ke Bandung dengan sekitar 800 pasukan APRA. Mereka menyerbu markas Divisi Siliwangi, membunuh puluhan tentara TNI, dan mengintimidasi masyarakat sipil. Westerling memanfaatkan kekacauan politik pasca pengakuan kedaulatan Indonesia untuk menyebarkan ketakutan. Ia berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengembalikan kontrol Belanda melalui Pasundan sebagai negara boneka.

Terornya di Pasundan tidak hanya berhenti pada aksi militer. Westerling menggunakan propaganda untuk melemahkan moral rakyat dan TNI. Ia menyebarkan isu bahwa APRA adalah bagian dari gerakan besar melawan "ancaman komunisme" yang diduga menyusup ke pemerintahan Indonesia. Namun, usaha Westerling gagal total setelah pemerintah RIS di bawah Perdana Menteri Mohammad Hatta dan TNI bergerak cepat untuk memulihkan keamanan.

Pelatihan Militer dan Akhir Hidup Westerling

Westerling melarikan diri ke Singapura. Ia kemudian pindah ke Eropa, menetap di Belgia, dan menghindari pengadilan internasional atas kejahatan perang yang ia lakukan. Westerling menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengusaha kecil di Amsterdam hingga meninggal pada tahun 1987.

M.N.Aziz