Pemutihan Lahan Sawit Ilegal: Solusi atau Delusi?
Pembahasan mengenai industri kelapa sawit merupakan sesuatu yang tak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Apalagi, Indonesia adalah negara penghasil sawit terbesar di dunia, terutama minyak sawit dengan menyumbang lebih dari 58% dari total produksi minyak sawit dunia. Produksi minyak sawit Indonesia terkonsentrasi di 2 pulau terbesar yaitu Kalimantan dan Sumatera. Di ke dua pulau tersebut, perkebunan sawit bak jamur di musim hujan saking banyaknya industri sawit yang berkembang. Sayangnya, perkembangan industri ini tak bisa terlepas dari permasalahan mengenai jutaan hektare lahan yang telah digunakan. Permasalahan lahan ini seakan tak pernah usai dan terus menambah kerunyaman industri kelapa sawit.
Terlebih ketika bicara mengenai lahan perkebunan sawit yang tak berizin atau dalam kata lain kita biasa menyebutnya "sawit ilegal". Berbagai macam upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan polemik terkait sawit ilegal terlihat tak berpengaruh secara signifikan. Sebab upaya-upaya yang dilakukan terkesan tidak siap dan hanya sebagai wacana belaka, tetapi pada kenyataan di lapangan tidak ada perbaikan yang dilakukan.
Di Kalimantan Tengah contohnya, pada Mei 2024, telah dilaksanakan pemutihan pada ratusan ribu lahan sawit ilegal. Parahnya, dinas terkait yaitu Dinas Perkebunan mengaku tidak dilibatkan dalam proses pemutihan tersebut. Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, H. Rizky R Badjuri mengatakan bahwa para pengusaha sawit melakukan prosedur pemutihan lahan sawit ilegalnya secara mandiri melalui aplikasi Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) yang langsung dipegang oleh Pemerintah Pusat, yang bahkan Dinas Perkebunan di tingkat daerah itu tak mempunyai akses ke aplikasi tersebut. Hal ini memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah yang sudah cukup usang ini. Dibuktikan dengan tidak adanya sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam menangani permasalahan yang cukup pelik ini, apalagi pemutihan lahan sawit ilegal ini terkesan hanya menguntungkan para pengusaha.
Pada 2023, Presiden Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi membentuk Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, atau Satgas Sawit. Menteri Jokowi bidang Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartato juga menyatakan bahwa program itu bisa memulihkan citra industri sawit dalam negeri di mata dunia internasional dan juga bisa meningkatkan pendapatan pajak negara. Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri sawit terbesar di dunia, namun banyak pihak yang menilai bahwa industri sawit juga menyumbang kerusakan lingkungan yang tak bisa tergantikan oleh apapun. Dapat disimpulkan bahwa program pemutihan lahan sawit ilegal ini cukup merugikan negara secara umum, baik dari segi ekonomi berkelanjutan maupun kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Greenpeace Indonesia menemukan sepanjang tahun 2001-2019, hutan primer seluas 870.995 Ha dalam kawasan hutan telah berubah menjadi kebun sawit dan diperkirakan telah melepas sekitar 104 juta metrik ton karbon. Ini setara dengan 33 kali emisi karbon tahunan yang dihasilkan untuk konsumsi listrik oleh semua rumah di Jakarta, atau 60% dari emisi tahunan penerbangan internasional.
Pada akhirnya, pemerintah pusat dituntut untuk bisa memberikan alternatif solusi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, alih-alih hanya memikirkan keuntungan semata. pemutihan lahan sawit ilegal tak dapat mengembalikan hutan dan dan kerugian negara yang telah ditimbulkan sebelumnya, dan justru akan menambah kesan bahwa pemerintah pusat menormalisasi pengrusakan lingkungan.
Pemerintah harus bisa memikirkan penyelesaian permasalahan tentang lahan sawit ini secara komprehensif, sebab hal-hal yang ditangani cukup kompleks.
By: Muhammad Nur Aziz