Tips Mengendalikan Interpretasi dan Persepsi
langkah-langkah, saya akan menggunakan akronim juga untuk membantu pembaca mengambil kembali kendali interpretasi atas kehidupan kita sehari-hari. Akronim ini saya temui di internet, tetapi tidak diciptakan oleh Stoisisme. Langkah-langkah yang bisa diambil saat kita mulai merasakan emosi negatif (mau mengamuk, sedih, baper, frustrasi, putus asa, dan lain-lain) dapat disingkat menjadi S-T-A-R (Stop, Think & Assess, Respond).
1. STOP
secara sadar kita harus berhenti dulu. Jangan terus larut dalam perasaan tersebut. Anggap saja kita berteriak "time- out!" di dalam hati. Cara ini bisa mulai dilatih di semua emosi negatif begitu mulai terdeteksi, seperti takut, khawatir, marah, cemburu, curiga, stres, sedih, frustrasi, dan lain-lain. Walau mungkin terdengar aneh atau mustahil untuk "menghentikan emosi yang selama ini muncul begitu spontan, menurut pengalaman saya ini sangat bisa dilakukan. Semakin sering dilakukan, kita akan menjadi lebih efektif melakukannya.
2. THINK & ASSESS (dipikirkan dan dinilai). Sesudah menghentikan proses emosi sejenak, kita bisa aktif berpikir Memaksakan diri untuk berpikir secara rasional saja sudah mampu mengalihkan kita dari kebablasan untuk menuruti emosi. Kemudian, mulailah menilai (assess), apakah perasaan saya ini bisa dibenarkan atau tidak? Apakah kita telah memisahkan fakta objektif dari interpretasi/value judgement kita sendiri? Bertanya pada diri sendiri, "Apakah emosi saya ini terjadi karena sesuatu yang di dalam kendali saya atau di luar kendali saya?"
Contoh:
a. Terkena macet yang tidak biasanya. Ini di luar kendali kita, kenapa gusar? Toh ngamuk-ngamuk tidak bisa mengubah situasi.
b. Mau meeting, ketinggalan file/dokumen penting. Oke, kita bisa kesal sama diri sendiri karena teledor (sesuatu yang ada di bawah kendali kita), tetapi saat ini, situasi sudah terjadi (sudah di luar kendali). Jadi, daripada marah-marah pada diri sendiri, alihkan energi untuk mencari solusi.
c. Keternu teman yang sudah lama tak berjumpa, tanpa basa basi dia langsung teriak, "GILEEEE LO GEMUKAN AMAAAT? EH LOGEMUKAN APA HAMIL DI LUAR NIKAH??" Kata-kata ini objektif ya hanya kata-kata, tetapi interpretasi "ini sengaja menghina saya sudah datang dari pikiran kita sendiri Kemudian, kita tidak bisa mengendalikan bacot orang.
jadi mau berharap apa? Berharap semua orang bisa tahu mana sapaan yang sopan atau tidak? Ini tidak realistis. Juga ada kemungkinan dia benar-benar tidak mengerti etiket, dan kalau tidak tahu, artinya dia tidak tahu kalau yang dilakukannya tidak patut. Kita bisa memberi tahu dia dengan baik-baik (kalau mau). Nanti kita akan membahas nasihat praktis Stoisisme dalam berurusan dengan manusia- manusia lain (yang kerap dirasa menjengkelkan).
3. RESPOND. Sesudah kita menggunakan nalar, berupaya untuk rasional dalam mengamati situasi, barulah kita memikirkan respons apa yang akan kita berikan. Respons bisa dalam bentuk ucapan atau tindakan. Karena pemilihan respons tersebut datang sesudah kita memikirkannya situasinya baik- baik, diharapkan ucapan dan tindakan respons ini adalah hasil penggunaan nalar/rasio yang sebaik-baiknya, dengan prinsip bijak, adil (fair), menahan diri (tidak terbawa perasaan/emosi), dan berani (courage).
Kerangka S-T-A-R ini menurut saya bisa dipakai di situasi apa pun. APA PUN. Tidak ada situasi yang terlalu berat sampai kita tidak mampu mengendalikan interpretasi pribadi. Kapan kita tahu kita harus melakukan S-T-A-R? Begitu kita mendeteksi adanya emosi negatif dalam setiap situasi yang dihadapi. Sekolah, pacaran, karier, bisnis, keluarga, jalan raya rasanya tidak ada skenario hidup apa pun yang tidak bisa merasakan manfaat kerangka S-T- A-R ini. Dari keputusan "kecil", misalnya panik melihat sale sepatu di mal (interpretasi otomatis yang harus dilawan, "ADUH KAPAN LAGI ADA SALE SEPERTI INI, WALAUPUN GUE GAK BUTUH SEPATU KE- 200..."), sampai keputusan "besar", misalnya diajak menikah masih muda, sampai peristiwa hidup yang mengguncang kita, misalnya PHK atau kematian mendadak keluarga dekat. Memberikan diri kita kesempatan untuk berpikir rasional hampir selalu lebih baik dibandingkan dengan terus-menerus membiarkannya ditarik ke sana kemari oleh emosi.
Dalam Discourses, Epictetus berkata,
"Jangan biarkan peristiwa yang ada (di depanmu) menggoyahkan dirimu. Katakanlah (kepada peristiwa/kejadian itu), Tunggu dulu; biarkan saya memeriksamu sungguh-sungguh. Saya akan mengujimu terlebih dahulu."
inilah yang dimaksud teknik S-T-A-R. Hampir 2.000 tahun silam Epictetus sudah mengingatkan agar kita tidak tergesa- gesa menilai, apalagi bertindak atas apa yang kita rasakan dan pikirkan tanpa dianalisis terlebih dahulu.
Teknik ini bisa diterapkan dalam semua situasi ketika kita mulai merasakan adanya emosi negatif. Jika saya mau, saya mampu untuk tidak menuruti interpretasi otomatis yang menyeret saya pada emosi negatif yang berlarut-larut.
SUMBER : Buku filosofi teras, henry manampiring
by : Aminah Ummul Kamal